Bertemu Titik Terendah dalam Hidup

 

 

Ilustrasi stasiun KRL (Foto: Dhea Alvionita)

 

Pupus sudah harapan Icha Elvioninda untuk merawat perangkat kebutuhan kuliahnya agar tahan lama. Laptop yang Icha beli dari hasil keringatnya bekerja saat liburan semester harus dibawa kabur orang lain di dalam kereta komuter atau KRL relasi Bogor-Angke. Dari sedih hingga kecewa, anak bungsu tersebut menyebut bahwa peristiwa itu membawa dirinya ke titik terendah dalam hidup.

Penghujung tahun 2021, kegiatan bengkel di program studi Icha sedang padat-padatnya. Sebagai mahasiswa rantau, dia tinggal bersama kakak perempuannya. Namun, tempat kakaknya masih jauh dari kampus. Oleh sebab itu, Icha memutuskan untuk menginap di rumah temannya.

Icha membawa serta barang-barang pribadi, termasuk alat untuk kebutuhan kuliah ke rumah temannya. Di akhir kegiatan bengkelnya, perempuan asal Pulau Sumatera itu kembali pulang ke tempat kakaknya menaiki KRL dari Stasiun Depok Baru.

Icha sempat merasa cemas saat harus membawa laptop di transportasi umum. Namun, kecemasan itu dia tepis dengan pemikiran kalau orang lain tidak akan ada niat berbuat jahat padanya.

Berdiri di dekat pintu KRL, Icha bersandar pada tepi kursi penumpang. Setelah melewati beberapa stasiun, rasa pegal mulai menjalar ke tangannya. Dia menyimpan laptop miliknya di tempat penyimpanan barang di atas kursi penumpang.

Selang beberapa menit KRL berhenti di Stasiun Tanjung Barat, suara orang-orang mengobrol terdengar riuh. Icha yang saat itu menatap layar ponselnya dipanggil oleh seorang perempuan. Perempuan itu menanyakan padanya apakah dia yang menyimpan laptop di atas. Icha mengangguk, saat matanya melirik ke tempat di mana seharusnya laptop berada, dirinya lemas seketika. Laptop miliknya hilang!

Sebuah video yang merekam aksi seorang pria mengambil tas berisikan laptop diperlihatkan kepada Icha. Lantas Icha turun di Stasiun Pasar Minggu dan kemudian membuat surat laporan kehilangan.

Lalu lalang petugas di ruangan berdinding putih menemani Icha untuk menunggu kabar selanjutnya. Dia belum memberi tahu siapa pun soal pencurian laptop. Setitik harapan masih hinggap di keyakinannya bahwa laptopnya akan kembali.

Hari sudah semakin gelap, dengan berat hati Icha menghubungi kakaknya. Tangisnya pecah ketika memberitahukan laptop yang baru dia beli tahun lalu itu telah dicuri. Selain itu, Icha mengabari teman-temannya. Awalnya teman-teman Icha tidak percaya, tetapi merekalah yang menjemput Icha di stasiun.

Peristiwa yang terjadi pada hari itu bagaikan mimpi bagi Icha. Perasaan tidak tenang dan memikirkan hari-hari selanjutnya akan bagaimana membuat Icha tidak dapat memejamkan matanya untuk tidur.

“Kenapa harus aku? Coba kalau laptopnya aku pertahankan untuk ditenteng,” begitu pikiran Icha yang terus berandai-andai. Perjuangannya untuk memiliki laptop itu dan semua yang tersimpan di dalamnya membuat hatinya berat bila harus berpisah.

“Kejadian itu menjadi titik terendah aku saat merantau— tidak, itu terendah dalam hidupku,” pernyataannya itu tidak berlebihan. Icha mengatakan orang lain tidak akan paham saat mereka belum pernah merasakannya.

Waktu terus berlalu, Icha berjuang kembali untuk mendapatkan laptop barunya. Beberapa orang senantiasa memberi dukungan padanya. Icha perlahan menerima kenyataan. Jika laptop yang dicuri itu kembali, dia bersyukur. Jika tidak kembali pun tidak apa-apa, dia sudah rela.

Icha akan berusaha bangkit dari masa-masa sulit. Akan tetapi, dia menjadi sadar akan suatu hal. “Jangan pernah menganggap semua orang itu baik,” ungkapnya. Menurutnya itu menyedihkan, tetapi sangat disayangkan hal itu nyata adanya.


Tulisan ini telah tayang di Kumparan.com.

Komentar